MAKALAH SEDERHANA
“DISLEKSIA”
Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Dosen pengampu : Galih Kusumo S.Pd., M.Pd.
Disusun oleh :
Clara Endri Prasetiyani
(15113087)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2016
DISLEKSIA
Disleksia berasal dari bahasa
Yunani di mana 'dis-' yang berarti sulit, sedangkan 'lexicon'
yang berarti kata. Dari asal katanya tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
disleksia adalah ganguan dari susunan saraf pusat sehingga menyebabkan
penderita kesulitan saat mereka belajar membaca, menulis atau mengeja
kata-kata.
Meskipun anak-anak penderita
disleksia memiliki tingkat intelejensi di atas rata-rata, mereka sulit memahami
pelajaran yang disampaikan secara visual maupun melalui suara. Otak anak
pengidap disleksia tidak mampu menerjemahkan gambar atau suara yang dilihat
oleh mata atau yang didengar oleh telinga. Mata penderita disleksia bisa
melihat kata-kata yang tertulis dalam buku, namun otak tidak mampu
menerjemahkan apa yang mereka lihat.
Disleksia bukanlah bagian dari
penyakit mental. Oleh karena itu kepikunan, keterbelakangan mental dan
kerusakan otak tidak dapat digolongkan sebagai gejala disleksia, Demikian juga
gangguan penglihatan dan pendengaranDisleksia merupakan kelainan dengan dasar
kelainan neurobiologis, dan ditandai dengan kesulitan dalam mengenali
kata dengan tepat / akurat, dalam pengejaan dan dalam kemampuan mengkode
symbol. Beberapa ahli lain mendefinisikan disleksia sebagai suatu kondisi
pemprosesan input/informasi yang berbeda (dari anak normal) yang seringkali
ditandai dengan kesulitan dalam membaca, yang dapat mempengaruhi area kognisi
seperti daya ingat, kecepatan pemprosesan input, kemampuan pengaturan waktu,
aspek koordinasi dan pengendalian gerak. Dapat terjadi kesulitan visual dan
fonologis, dan biasanya terdapat perbedaan kemampuan di berbagai aspek
perkembangan.
Terdapat dua macam disleksia, yaitu developmental dyslexia dan acquired
dyslexia. Developmental
Dyslexia merupakan
bawaan sejak lahir dan karena faktor genetis atau keturunan. Penyandang
disleksia akan membawa kelainan ini seumur hidupnya atau tidak dapat
disembuhkan. Tidak hanya mengalami kesulitan membaca, mereka juga mengalami
hambatan mengeja, menulis, dan beberapa aspek bahasa yang lain. Meski demikian,
anak-anak penyandang disleksia memiliki tingkat kecerdasan normal atau bahkan
di atas rata-rata. Dengan penanganan khusus, hambatan yang mereka alami bisa
diminimalkan. Dan acquired dyslexia didapat karena gangguan
atau perubahan cara otak kiri membaca.
Anak
disleksia biasanya mengalami masalah masalah berikut:
1. Masalah fonologi
Yang dimaksud masalah fonologi adalah hubungan
sistematik antara huruf dan bunyi. Misalnya mereka mengalami kesulitan
membedakan ”paku” dengan ”palu”; atau mereka keliru memahami kata kata yang
mempunyai bunyi hampir sama, misalnya ”lima puluh” dengan ”lima belas”.
Kesulitan ini tidak disebabkan masalah pendengaran namun berkaitan dengan
proses pengolahan input di dalam otak.
2. Masalah mengingat perkataan
Kebanyakan anak disleksia mempunyai level
intelegensi normal atau di atas normal namun mereka mempunyai kesulitan
mengingat perkataan. Mereka mungkin sulit menyebutkan nama teman-temannya dan
memilih untuk memanggilnya dengan istilah “temanku di sekolah” atau “temanku
yang laki-laki itu”. Mereka mungkin dapat menjelaskan suatu cerita namun tidak
dapat mengingat jawaban untuk pertanyaan yang sederhana.
3. Masalah penyusunan yang sistematis / sekuensial
Anak disleksia mengalami kesulitan menyusun sesuatu
secara berurutan misalnya susunan bulan dalam setahun, hari dalam seminggu atau
susunan huruf dan angka. Mereka sering ”lupa” susunan aktivitas yang sudah
direncanakan sebelumnya, misalnya lupa apakah setelah pulang sekolah langsung
pulang ke rumah atau langsung pergi ke tempat latihan sepak bola. Padahal orang
tua sudah mengingatkannya bahkan mungkin sudah pula ditulis dalam agenda
kegiatannya. Mereka juga mengalami kesulitan yang berhubungan dengan perkiraan
terhadap waktu. Misalnya mereka mengalami kesulitan memahami instruksi seperti
ini: ”Waktu yang disediakan untuk ulangan adalah 45 menit. Sekarang jam 8 pagi.
Maka 15 menit sebelum waktu berakhir, Ibu Guru akan mengetuk meja satu kali”.
Kadang kala mereka pun ”bingung” dengan perhitungan uang yang sederhana,
misalnya mereka tidak yakin apakah uangnya cukup untuk membeli sepotong kue
atau tidak.
4. Masalah ingatan jangka pendek
Anak disleksia mengalami kesulitan memahami
instruksi yang panjang dalam satu waktu yang pendek. Misalnya ibu menyuruh anak
untuk “Simpan tas di kamarmu di lantai atas, ganti pakaian, cuci kaki dan
tangan, lalu turun ke bawah lagi untuk makan siang bersama ibu, tapi jangan
lupa bawa serta buku PR matematikanya ya”, maka kemungkinan besar anak
disleksia tidak melakukan seluruh instruksi tersebut dengan sempurna karena
tidak mampu mengingat seluruh perkataan ibunya.
5. Masalah pemahaman sintaks
Anak disleksia sering mengalami kebingungan dalam
memahami tata bahasa, terutama jika dalam waktu yang bersamaan mereka
menggunakan dua atau lebih bahasa yang mempunyai tata bahasa yang berbeda. Anak
disleksia mengalami masalah dengan bahasa keduanya apabila pengaturan tata
bahasanya berbeda daripada bahasa pertama. Misalnya dalam bahasa Indonesia
dikenal susunan Diterangkan–Menerangkan (contoh: tas merah), namun dalam bahasa
Inggris dikenal susunan Menerangkan-Diterangkan (contoh: red bag).
Contoh kasus orang yang
mengalami disleksia:
Leonardo
da Vinci, sang pencipta Mona Lisa dan pelukis The Last Supper. Da Vinci
seringkali menuliskan ide-ide penemuannya dengan tulisan tangan. Seringkali Da
Vinci menulis kalimat secara terbalik sehingga hanya bisa dibaca lewat cermin.
Albert
Einstein Einstein diketahui menderita disleksia ketika dia sering gagal
mengingat hal-hal sederhana. Einstein tak bisa mengingat jumlah bulan dalam
setahun, namun dia bisa berhasil menyelesaikan formula matematika tersulit.
Einstein juga diketahui tak bisa menalikan tali sepatunya dengan benar, namun
kejeniusannya terbukti membuatnya bisa sukses dan melegenda hingga saat ini.
Agatha Christie juga diketahui menderita disleksia. Namun hal ini
tak menghentikannya untuk menjadi orang yang kreatif. Agatha pun tak lelah
belajar untuk menulis dan membuat novel-novel misterinya yang hebat dan selalu
bisa menyergap pembacanya. Hingga saat ini novel-novelnya telah menginspirasi
banyak novelis serta pembuat film.
Cara memperbaiki anak yang
mengalami disleksia yaitu dengan cara
1.
menggunakan media belajar berupa gambar untuk membantu
memudahkan dalam mengenalkan huruf, membedakan huruf hingga akhirnya anak
disleksia mampu membaca dan menulis dengan lancar.
2.
Meningkatkan motivasi belajar pada anak, meningkatkan
motivasi belajar bisa lakukan dengan membacakan sebuah cerita atau dongeng,
kemudian memberitahukan segala manfaat dan keuntungan yang bisa diperoleh
dengan membaca dan menulis.
3.
Meningkatkan rasa percaya diri pada anak disleksia juga
merupakan salah satu cara mengatasi kesulitan belajar pada anak disleksia.
4.
Selalu mendampingi anak dalam belajar, dengan selalu
melakukan pendampingan dalam belajar, anak akan lebih mengingat apa yang
dipelajarinya. Selain itu pendampingan belajar secara rutin juga dapat
meningkatkan rasa percaya diri dan meningkatkan motivasi anak untuk selalu
belajar.
DAFTAR PUSTAKA